Pesantren, PAI, dan Mutafaqqih Fiddin: Tiga Pilar yang Terlupakan dalam Regulasi Pendidikan

Pesantren, PAI, dan Mutafaqqih Fiddin: Tiga Pilar yang Terlupakan dalam Regulasi Pendidikan

Hanhan Hasbiyani Ridwan_2486080093

 

Dalam narasi besar pendidikan nasional, gagasan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya selalu digaungkan. Namun ketika membahas pendidikan yang menyentuh aspek spiritual dan keberagamaan, perhatian kebijakan seolah menyusut. Tiga pilar penting dalam ekosistem pendidikan Islam—pesantren, guru Pendidikan Agama Islam (PAI), dan lembaga pencetak mutafaqqih fiddin (ulama mendalam ilmu agamanya)—belum mendapatkan tempat layak dalam kerangka regulasi pendidikan nasional. Ketiganya seringkali hanya dijadikan pelengkap dari sistem pendidikan umum yang lebih didominasi oleh logika sekuler dan teknokratis.

Pesantren: Pilar Tradisional yang Terpinggirkan

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan hubungan langsung antara santri dan kiai, pesantren melahirkan generasi religius yang moderat dan berakar pada nilai lokal. Namun, dalam banyak kebijakan pendidikan, keberadaan pesantren hanya diakui secara formal, bukan substantif. Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memang memberikan legalitas, tetapi implementasinya masih lemah, terutama dalam hal pendanaan, kurikulum, dan integrasi dengan sistem pendidikan nasional.

Pengungkapan dari Khozin (2021), pesantren sebagai benteng pendidikan moral sering kali luput dari perencanaan pembangunan jangka panjang di sektor pendidikan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik unik dan khas yang sangat menonjol. Lembaga ini telah memainkan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa secara turun-temurun tanpa henti. Di tengah masa-masa sulit, termasuk era perjuangan melawan penjajahan, pesantren tetap eksis dan menjadi pusat pendidikan yang bertahan hingga kini. Menurut Zamakhsyari Dhofier, tujuan utama pendidikan di pesantren bukanlah untuk mengejar kekuasaan, kekayaan, ataupun kemegahan duniawi, melainkan menanamkan nilai bahwa menuntut ilmu adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan. Sebagai institusi pendidikan, pesantren memikul tanggung jawab besar dalam membentuk kepribadian dan karakter santri. Di Indonesia, terdapat banyak pesantren—baik yang bersifat tradisional maupun modern—yang telah memberikan sumbangsih nyata dalam proses mencerdaskan bangsa

 

Krisis Guru PAI: Lemahnya Infrastruktur Pendidikan Keagamaan di Sekolah

 

Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah ujung tombak pendidikan karakter di sekolah. Namun, realitas menunjukkan bahwa jumlah guru PAI tidak mencukupi, terutama di sekolah negeri dan kawasan pelosok. Banyak sekolah harus berbagi guru atau bahkan mengganti posisi tersebut dengan guru mata pelajaran lain yang tidak memiliki kompetensi keagamaan memadai.

Selain jumlah yang terbatas, kualitas pengembangan guru PAI pun kurang menjadi prioritas. Program pelatihan atau sertifikasi lebih banyak menyasar guru umum, sementara guru PAI dibiarkan bekerja tanpa pembinaan yang terstruktur. Dalam penelitiannya, Halim (2020) menyebut bahwa keterbatasan guru PAI merupakan cerminan dari rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan spiritual di tengah masyarakat modern.

Hal ini memprihatinkan karena materi agama bukan sekadar teori, tetapi menyangkut pembentukan karakter, etika sosial, hingga pemahaman moderasi beragama. Tanpa dukungan regulasi dan kebijakan yang berpihak, keberadaan guru PAI akan terus dipinggirkan dalam sistem pendidikan formal.

 

Mutafaqqih Fiddin: Masa Depan Ulama yang Diabaikan

Mutafaqqih fiddin adalah istilah klasik dalam Islam untuk menyebut ulama yang mendalam dalam pemahaman agama. Mereka bukan hanya hafal teks-teks agama, tetapi juga mampu memahami konteks sosial dan menjawab tantangan zaman. Sayangnya, dalam arsitektur pendidikan nasional, pencetakan mutafaqqih fiddin tidak memiliki peta jalan yang jelas.

Lembaga pendidikan tinggi Islam seperti perguruan tinggi keagamaan negeri (PTKIN) dan pesantren tinggi seharusnya menjadi pusat lahirnya para mutafaqqih fiddin. Namun, tantangan birokratis, terbatasnya anggaran riset keagamaan, serta kurangnya afirmasi terhadap program studi ilmu-ilmu keislaman menjadikan lembaga ini tidak cukup kompetitif. Pemerintah lebih fokus pada pengembangan teknologi dan industri, sementara investasi intelektual dalam bidang keislaman tidak sebanding.

Padahal, di tengah merebaknya radikalisme dan dekadensi moral, kehadiran ulama yang kompeten dan kontekstual sangat dibutuhkan. Pendidikan mutafaqqih fiddin tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan kebijakan negara. Butuh desain sistemik dan dukungan anggaran untuk menghidupkan kembali semangat keilmuan Islam yang mendalam.

 

Menuju Regulasi yang Inklusif dan Berkeadilan

Sudah waktunya regulasi pendidikan direkonstruksi dengan pendekatan yang lebih inklusif terhadap nilai-nilai keagamaan. Pendidikan nasional tidak bisa hanya mengejar capaian akademik dan keterampilan kerja semata. Ia juga harus menjawab kebutuhan spiritual dan etika sosial masyarakat Indonesia yang religius.

Pemerintah harus memberi perhatian serius terhadap tiga pilar pendidikan Islam ini. Pesantren harus diberi ruang tumbuh dan dukungan finansial yang setara. Guru PAI perlu direkrut dan dikembangkan secara profesional. Sementara program pencetak mutafaqqih fiddin mesti difasilitasi dengan anggaran riset dan insentif yang layak.

Dengan menguatkan ketiga pilar ini, pendidikan nasional akan menjadi lebih holistik, menjawab tantangan zaman sekaligus menjaga akar spiritualitas bangsa. Jika tidak, kita akan terus menghasilkan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi kosong secara moral dan keberagamaan.

 

Referensi

Halim, A. (2020). Dampak Kebijakan Pendidikan terhadap Guru PAI di Sekolah Negeri. Google Scholar.

Khozin, M. (2021). Revitalisasi Peran Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional

 

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Posting Komentar

0 Komentar