Pelaksanaan Pendidikan Agama Sesuai Keyakinan Peserta Didik di Sekolah: Antara Regulasi dan Realita

Mata Kuliah: Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen : Dr. Suwendi, M.Ag

Tema : Metode Pengembangan Keberagamaan pada Sekolah

 

Opini: Pelaksanaan Pendidikan Agama Sesuai Keyakinan Peserta Didik di Sekolah: Antara Regulasi dan Realita

Oleh Hanhan Hasbiyani Ridwan (2486080093)


Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan secara tegas bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa peserta didik tidak hanya mendapatkan pendidikan umum, tetapi juga memiliki hak memperoleh pembinaan spiritual yang sesuai dengan keyakinannya, yang dalam praktiknya seharusnya diberikan oleh guru yang memahami ajaran agamanya secara mendalam karena memiliki keyakinan yang sama.

 

Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, realitas kadang tidak sepenuhnya mencerminkan semangat dari peraturan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil observasi dan wawancara dengan salah satu siswa di sebuah sekolah menengah pertama di daerah Cikalong Wetan dan waawancara pada Guru mata pelajaran pendidikan agama di sekolah menengah atas yang mengungkapkan penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah tersebut.

 

Salah satu Sekolah Menengah Pertama di Cikalong Wetan

Realita di Lapangan: Layanan Pendidikan Agama

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2025, diketahui bahwa sekolah tempat siswa tersebut belajar hanya menyediakan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sementara untuk siswa yang menganut agama Kristen atau Katolik belum disediakan pendidikan agama yang sesuai. Di sekolah tersebut, terdapat 7 orang siswa non-Muslim, yaitu 2 siswa di kelas 7 dan 5 siswa di kelas 8. Mereka tidak mendapatkan pelajaran agama yang sesuai dengan keyakinannya di sekolah.

Lebih lanjut, siswa yang diwawancarai menyebutkan bahwa selama pelajaran agama Islam berlangsung di kelas, siswa non-Muslim diperbolehkan meninggalkan kelas dan diarahkan untuk pergi ke perpustakaan. Ini tentu bukan solusi yang ideal, karena mereka menjadi tidak mendapatkan pendidikan agama apapun secara formal di lingkungan sekolah. Dalam kondisi seperti ini, siswa kehilangan hak dasarnya untuk dibina secara spiritual dan moral dalam kerangka ajaran agamanya sendiri, sebagaimana dijamin oleh undang-undang.

Guru Tidak Seagama dan Dampaknya terhadap Pembelajaran

Dalam wawancara yang sama, diketahui bahwa guru yang mengajar mata pelajaran agama adalah seorang Muslim, yang tidak seagama dengan siswa yang menganut Kristen/Katolik. Dalam pandangan siswa tersebut, ketika pendidikan agama tidak diajarkan oleh guru yang seagama, maka kepercayaan terhadap isi pelajaran menjadi berkurang. Hal ini sangat logis, mengingat pendidikan agama bukan hanya menyampaikan teori, tetapi juga nilai-nilai keyakinan yang mendalam yang sangat personal dan emosional bagi setiap individu.

Ketika seorang guru yang berbeda agama mencoba menyampaikan pelajaran agama tertentu, maka dapat timbul kesan bahwa pelajaran tersebut tidak autentik. Bahkan, mungkin akan menimbulkan kerancuan atau ketidaknyamanan pada siswa. Oleh karena itu, ketentuan bahwa pendidikan agama harus diajarkan oleh pendidik yang seagama bukanlah hal sepele, tetapi menyangkut keutuhan pembelajaran dan pembentukan karakter siswa yang utuh sesuai nilai agama masing-masing.

Solusi Alternatif Sekolah: Ujian di Gereja, Penilaian di Luar Sekolah

Adapun dalam pelaksanaan evaluasi atau ujian mata pelajaran agama bagi siswa non-Muslim, pihak sekolah menyerahkan urusan tersebut kepada pihak luar. Para siswa diminta untuk membawa soal ulangan ke gereja masing-masing, mengerjakan di sekolah, lalu menyerahkan kembali ke gereja untuk dinilai. Setelah mendapatkan penilaian, hasilnya dibawa kembali ke sekolah.

Meskipun upaya ini menunjukkan adanya itikad baik dari sekolah dalam mengakomodasi kebutuhan siswa non-Muslim, namun pendekatan ini tetap menyiratkan bahwa sekolah belum sepenuhnya memenuhi kewajiban sebagaimana diamanatkan undang-undang. Penyerahan tanggung jawab pendidikan agama kepada lembaga luar sekolah menjadikan sekolah seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya dalam aspek pendidikan yang sangat fundamental.

 

Evaluasi terhadap Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut, terlihat bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas belum dijalankan sepenuhnya. Ketentuan yang menyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama menjadi tidak efektif dalam lingkungan sekolah yang tidak menyediakan layanan agama yang beragam. Dalam konteks pendidikan yang inklusif dan berkeadilan, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan.

Tantangan yang dihadapi oleh sekolah dalam memenuhi ketentuan ini bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan sumber daya, terutama ketersediaan guru agama untuk semua agama yang dianut siswa. Namun, seharusnya pemerintah daerah, dinas pendidikan, serta sekolah itu sendiri secara proaktif mencari solusi yang sistematis, seperti bekerja sama dengan lembaga keagamaan, melakukan rekrutmen guru agama tambahan, atau bahkan mengatur jadwal khusus untuk pendidikan agama non-Islam dengan melibatkan guru luar yang seagama dan bersertifikasi.

Salah satu Sekolah Menengah Atas di Cikalong Wetan

Berdasarkan wawancara dengan Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama, sama seperti sekolah sebelumnya, di sekolah ini pun hanya menyediakan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sementara untuk siswa yang menganut agama Kristen atau Katolik belum disediakan pendidikan agama yang sesuai.

Saat pembelajaran PAI dilaksanakan dikelas, peserta didik dengan agama selain islam diberi anjuran untuk menekuni agama mereka di perpustakan. Namun saat pembahasan materi akhlak, guru PAI menganjurkan peserta didik nonis untuk mengikuti pembelajaran, bahkan peserta didik nonis diminta memberi argument terkait perspekstif mereka 

Posting Komentar

0 Komentar