Hanhan
Hasbiyani Ridwan (2468080093)
Tugas Mata
Kuliah: Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen : Dr.
Suwendi, M.Ag
Tema : Metode
Pengembangan Keberagamaan pada Madrasah
Judul : Menakar Inovasi
Madrasah dalam Meningkatkan Kompetensi Keberagamaan Siswa: Studi Kasus MA
Al-Huda Cikalong Wetan dan MA Yabis Pasir Langu
Madrasah merupakan
institusi pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum,
tetapi juga mendalami pendidikan agama Islam secara mendalam. Dalam konteks
pendidikan nasional, madrasah menjadi bentuk sekolah plus, karena menambahkan
lima mata pelajaran agama yang tidak dijumpai di sekolah umum: Al-Qur’an
Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Keberadaan mata pelajaran ini bertujuan untuk membentuk siswa yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh secara spiritual dan berkarakter
religius. Namun, untuk memastikan bahwa misi ini tercapai secara nyata,
madrasah dituntut untuk melakukan inovasi-inovasi nyata yang mampu meningkatkan
kompetensi keberagamaan siswa, khususnya dalam bidang BTQ (Baca Tulis
Al-Qur’an) dan praktik ibadah seperti salat.
Dari hasil observasi yang
dilakukan di dua madrasah aliyah, yakni MA Al-Huda Cikalong Wetan dan MA
Yayasan Bina Sejahtera (Yabis) Pasir Langu, dapat ditemukan sejumlah strategi,
inovasi, dan tantangan yang menggambarkan dinamika upaya peningkatan kompetensi
keberagamaan siswa.
Di MA Al-Huda Cikalong
Wetan, kejelasan visi dan misi menjadi fondasi kuat dalam membangun karakter
religius siswa. Visi mereka yang mengarah pada keunggulan dalam iman, ilmu, dan
teknologi diimbangi dengan misi konkret, seperti memperkuat nilai keislaman,
menciptakan lingkungan madrasah yang kondusif, dan melibatkan masyarakat dalam
pendidikan. Dalam praktiknya, kurikulum di madrasah ini telah dirancang
sedemikian rupa agar siswa mendapatkan pemahaman dan pengalaman keagamaan yang
utuh. Misalnya, di kelas 10 mereka mempelajari hafalan bacaan salat lengkap
dengan artinya, serta praktik salat melalui kajian kitab “Konci Kamulyaan”
karangan pimpinan pondok pesantren Al-Islamiyyah Karang Anyar dan merupakan
ketua MUI Kabupaten Bandung Barat,
sebuah karya lokal dalam Bahasa Sunda yang menyesuaikan dengan kearifan budaya
setempat.
Di jenjang lebih tinggi, yaitu
kelas 11 dan 12, program hafalan Al-Qur’an difokuskan pada juz 30 serta juz 1
dan 2. Menariknya, bagi siswa yang belum mampu membaca Al-Qur’an, tersedia sesi
tadarus bersama guru saat jam pelajaran. Bahkan, madrasah ini menjadikan
kemampuan membaca Al-Qur’an dan praktik salat sebagai syarat kelulusan,
menunjukkan adanya integrasi antara penguasaan ilmu agama dengan sistem
evaluasi pendidikan formal.
Program keputrian setiap
Jumat pagi, praktik salat sunnah, kegiatan hari besar Islam, dan pesantren kilat
saat Ramadan memperlihatkan betapa madrasah ini serius membina akhlak dan
ibadah siswa melalui pendekatan pengalaman langsung (experiential learning).
Bahkan siswa baru diwajibkan untuk mengikuti program mondok selama satu hari,
agar dapat merasakan langsung suasana pesantren dan memantapkan landasan
spiritual mereka.
Dalam konteks pengajaran
BTQ, MA Al-Huda mengkombinasikan metode tahsin, tajwid, dan tadarus bersama.
Guru memiliki peran sentral dalam membetulkan kesalahan siswa saat membaca.
Evaluasi terhadap BTQ dilakukan secara menyeluruh, mencakup aspek bacaan,
hafalan, adab membaca Al-Qur’an, hingga tes tulis ayat-ayat pendek. Praktik ini
tidak hanya memastikan aspek kognitif dan psikomotorik siswa, tetapi juga
menyentuh aspek afektif yang krusial dalam pembentukan karakter religius.
Sarana yang tersedia juga
mendukung proses ini, seperti kitab tajwid, kitab lokal, Al-Qur’an, mukena,
hingga masjid sebagai ruang sentral pembinaan ibadah. Madrasah juga menjalin
kerja sama dengan pesantren Al-Islamiyyah Cikalong Wetan, menandakan adanya
sinergi yang sehat antara pendidikan formal dan nonformal. Meski demikian, satu
tantangan yang masih ada adalah kenyataan bahwa sebagian besar siswa memperoleh
kemampuan BTQ dari luar madrasah, seperti TPA atau rumah. Ini menunjukkan bahwa
meskipun madrasah berupaya keras, keberhasilan pembelajaran agama masih sangat
dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan sosial siswa.
Sementara itu, MA Yayasan
Bina Sejahtera (Yabis) Pasir Langu juga menunjukkan komitmen yang sama dalam
membina karakter religius siswa. Visi mereka yang menekankan prestasi, akhlakul
karimah, dan wawasan global direalisasikan melalui misi pendidikan yang
berkualitas, pembentukan iman dan takwa, serta penciptaan lingkungan belajar
yang kondusif. Struktur kurikulum di madrasah ini menunjukkan adanya penguatan
nilai-nilai keislaman sejak awal hari, di mana setiap pagi siswa langsung
melaksanakan salat dhuha dan kegiatan hafalan Al-Qur’an sebelum memulai
pelajaran umum.
Program-program unggulan
mereka mencakup salat berjamaah wajib untuk dzuhur, pelaksanaan salat sunah,
hafalan Al-Qur’an, serta kegiatan kultum yang dibawakan oleh siswa dan guru
secara bergiliran. Pembiasaan ini sangat penting dalam menumbuhkan kebiasaan
baik (habit formation) yang akan terbawa hingga dewasa. Hal menarik dari MA
Yabis adalah bahwa semua siswa dinilai telah mampu membaca dan menulis
Al-Qur’an dengan baik, dan kemampuan salat mereka sesuai dengan tuntunan
syariat. Namun, lagi-lagi ditemukan bahwa sebagian besar keterampilan ini
diperoleh dari luar madrasah, seperti TPA atau pondok pesantren, bukan semata
dari pembinaan internal madrasah.
Evaluasi pembelajaran BTQ
dan praktik ibadah di MA Yabis dilakukan dengan pendekatan yang hampir sama
seperti di MA Al-Huda, yakni mencakup penilaian tajwid, kelancaran, adab
membaca, hingga tes tulis dan hafalan. Namun, fasilitas penunjang seperti modul
atau media digital belum tersedia secara memadai, dan pelatihan guru secara
khusus juga belum dilakukan. Meski demikian, kekompakan antara guru dan siswa
serta peran guru dalam membimbing bacaan siswa tetap menjadi keunggulan yang
dijaga.
Perbandingan antara kedua
madrasah ini menunjukkan bahwa meskipun keduanya sama-sama memiliki visi
religius yang kuat, pendekatan yang digunakan bisa berbeda. MA Al-Huda tampak
lebih struktural dan berbasis program, dengan pengintegrasian evaluasi BTQ dan
praktik ibadah sebagai bagian dari syarat kelulusan. Mereka juga memiliki
materi lokal yang kaya konteks budaya, dan kerja sama yang lebih formal dengan
pesantren. Di sisi lain, MA Yabis lebih mengandalkan pembiasaan harian, seperti
salat berjamaah dan kegiatan pagi, dengan kekompakan antar warga madrasah
sebagai kekuatan utama.
Namun, kedua madrasah ini
menghadapi tantangan yang serupa, yaitu masih adanya ketergantungan pada
pendidikan keagamaan luar (TPA, rumah, pesantren) dalam membentuk kemampuan BTQ
siswa. Ini menunjukkan perlunya sinergi yang lebih terarah antara madrasah dan
lembaga keagamaan lainnya, serta peran aktif orang tua dalam mendukung pendidikan
agama anak.
Sebagai rekomendasi,
inovasi ke depan perlu diarahkan pada penguatan metode pembelajaran yang lebih
menyentuh semua aspek: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain itu,
madrasah juga perlu memanfaatkan teknologi digital sebagai media pembelajaran
BTQ yang interaktif, meningkatkan pelatihan guru secara berkala, serta
membangun komunitas belajar keagamaan yang lebih luas dan berkelanjutan.
Madrasah tidak bisa
bekerja sendiri. Dukungan masyarakat, lembaga keagamaan, dan orang tua sangat penting
dalam memastikan bahwa siswa tidak hanya mampu membaca Al-Qur’an dan salat
secara teknis, tetapi juga mencintai dan menghidupkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Madrasah sebagai sekolah plus akan benar-benar menjadi
institusi unggul jika keberagamaan siswa tidak hanya sekadar diukur dari
hafalan, tetapi dari akhlak, kebiasaan, dan kesalehan sosial mereka.
Dengan demikian, inovasi
madrasah dalam meningkatkan kompetensi keberagamaan siswa adalah keniscayaan di
tengah tantangan zaman. Dua madrasah yang diamati menunjukkan bahwa dengan
komitmen yang kuat, pendekatan yang tepat, dan kolaborasi yang baik, tujuan
pendidikan Islam yang utuh dan menyeluruh bukanlah utopia, melainkan kenyataan
yang dapat terus diupayakan.
0 Komentar